Hasil penelitian awal yang diterbitkan di Jurnal Ilmiah Quaternary Researchmenunjukkan Kawah Bataglia di utara Yakutia, Siberia, yang terus mengalami meluas dapat mengungkapkan berbagai ancaman perubahan iklim yang terjadi di wilayah tersebut. Jurnal ilmiah yang terbit 16 Februari 2017 ini juga mengungkapkan, lapisan bertingkat pada sisi kawah tersebut merupakan laboratorium alam yang memberikan informasi iklim historis luar biasa.
Pada 1960-an, hutan-hutan di di Siberia Timur, Rusia dibabat habis, dan keteduhan di wilayah itu hilang, terutama di musim panas. Sinar matahari langsung menerpa permukaan tanah, tak ada lagi yang menghantarkan kesejukan.
Saat permukaan tanah menghangat, lapisan di bawahnya ikut menghangat – kemudian lapisan es mulai mencair, dan tanah perlahan runtuh. Dampaknya, longsor dan tanah runtuh terjadi, lebih luas lapisan es yang terkena suhu hangat meleleh. Inilah asal mula terciptanya Kawah Batagaika.
Kawah ini, sering disebut para ilmuwan sebagai “megaslump” atau “thermokarst,” yang oleh masyarakat lokal diartikan “gerbang ke dunia bawah”. Kawah jenis ini adalah yang terbesar di dunia dan makin hari makin melebar dan membesar.
Retakan ini kini meluas sepanjang lebih dari 1 km, kedalaman 86 meter, dan kian lama lubang raksasa itu makin merekah, tumbuh 10 hingga 30 meter per tahun. Salah satu sisinya, bahkan sudah mendekati lembah di dekatnya. Musim panas yang kian dekat, memicu potensi runtuhnya dinding kawah secara lebih cepat.
“Bertahun, pertumbuhan luasan lubang memang tidak terlalu drastis tapi yang jelas, tiap tahun kawah ini makin besar dan lebar “kata Fran Gunther, peneliti dari Alfred Wegener sebagaimana dikutip dari BBC. “Pertumbuhan yang terus menerus ini berarti bahwa kawah ini semakin dalam sepanjang waktu”.
Dalam jurnal ilmiah Quarternary Research, disebutkan bahwa lambat laut kawah ini melepaskan karbon yang tersimpan ratusan ribu tahun di dalam permafrostnya. Permafrost adalah tanah yang berada di titik beku pada suhu 0 derajat C. Permafrost umumnya terletak di lintang tinggi (yaitu tanah dekat kutub utara dan selatan). Tanah es menyumbang 0,022 persen dari total volume air dan ada dalam 24 persen lahan terbuka di belahan bumi utara.
Profesor Julian Murton dari Universitas Sussex yang meneliti kawah tersebut menyatakan usia lapisan-lapisan tanah di Kawah Batagaika mencapai 200.000 tahun. Lapisan tersebut melukiskan perubahan iklim secara bertahap yang terjadi pada masa lalu.
Para ahli berharap, informasi tersebut akan membantu mereka memprediksi apa yang akan terjadi pada masa depan planet manusia ini. “Kami menemukan beberapa lapisan tanah yang terkubur. Dua dari lapisan ini terlihat sangat menjanjikan. Mereka menunjukkan bahwa ribuan tahun yang lalu iklim di sekitar kawah ini sama dengan saat ini, dan mungkin lebih panas,” tambah Murton.
“Kami berusaha keras terutama untuk mengetahui jika perubahan iklim yang terjadi selama Zaman Es terakhir di Siberia dikarakterisasikan oleh berbagai variabilitas. Menghangat, lalu dingin, menghangat lagi, lalu mendingin lagi, seperti yang terjadi di kawasan Atlantik utara” tambah Murton.
Menurut Murton, proyek ini memungkinkan kami membandingkan data dengan objek yang sama di Greenland, China, dan Antarctica. “Data tanah kuno dan sisa-sisa tumbuhan di masa lalu di dalamnya akan membantu kami untuk menyusun ulang sejarah bumi,” tuturnya.
Sebuah penelitian baru-baru ini juga dilakukan untuk mengetahui usia lapisan-lapisan tanah yang dibekukan oleh waktu menjadi permafrost. Selain tentunya untuk mengumpulkan contoh tanaman dan tanah dari masa lalu.
Memahami periode penting tentang pemanasan bumi di masa lalu, akan membantu kita memahami bagaimana kehidupan di bumi bereraksi terhadap kondisinya yang makin memanas saat ini dan di masa depan.
Meski begitu, tetap saja lubang besar Kawah Batagaika merupakan ancaman bahaya yang mengerikan, dan bahkan para ilmuwan menyebutnya sebagai bom waktu.
Menurut U.S. Environmental Protection Agency, gas methan bisa mempunyai dampak 25 kali lebih besar dibanding dampak karbon dioksida dalam abad mendatang. Kenaikan emisi gas methanakan mendatangkan efek mengerikan pada atmosfer bumi.
No comments:
Post a Comment